Oleh: Desi Kirana

GOPARLEMENT.COM- Pasti pembaca ga bakalan nyangka, ada anak raja dimakan buaya di zaman dahulu.

Di satu daerah di Sumpur Kudus, tepatnya Nagari Kumanis. Ada peninggalan sejarah tentang musibah tersebut.

Raja tersebut bernama Rajo Alam, anaknya mati dimakan buaya ketika mandi di Batang Sinamar. Kejadian tersebut membuat sang raja murka, sehingga membuat sumpah sakti atau lebih di kenal dengan "Sumpah Satiah".

Sumpah tersebut tidak main-main. Jika ada buaya yang melewati sungai tersebut, persis di tempat anak tersebut di makan. Maka buaya itu akan mati. Karena Raja tersebut membuat pagar 'Ruyung' dari pokok enau.

Kisah tersebut sampai saat ini masih melegenda di nagari tersebut. Apalagi jika musim hujan datang, dan air sungai meluap. Maka masyarakat akan berhati-hati karena buaya akan melintasi jalan raya. Jalan untuk menghindari sungai yang sudah dipagari Ruyung tersebut.

Tempat itu sekarang sudah diresmikan oleh Bpk soeltan Muhkdan Taher Bakri pada tanggal 14 September 2017 silam.

Baca beritanya di sini gan: https://m.facebook.com/story.php?sto...00008575080154

Selain itu juga, di lokasi pinggiran batang Sinamar juga ada perkampungan Bunian.

Kalau agan berani, ayuk jalan-jalan ke sini.


Pagaruyuang menurut cerita masyarakat kumanis

Sumber Dt, S. Dt. Parmato Alam (Alm)

"Barangkali kalau kita mendengar kata pagaruyuang. yang kita ingat pasti rumah adat yang terletak di kabupaten tanah datar, dan sudah dijadikan objek wisata. Bahkan kita juga akan ingat rumah gadang yang terbakar disambar petir tahun 2010 silam.

Tapi sewaktu saya kecil, saya pernah mendengar cerita dari kakek saya yang sekarang memang sudah almarhum. katanya Pagaruyuang itu adalah pagar yang terbuat dari Ruyuang ( enau ). konon katanya pula..., pada masa itu penemu daerah luak nan tigo itu keluarnya di hulu batang air sinamar nagari kumanis yang dikenal dengan tapian parau ( tepian Perahu ), karena perahunya hanya bisa mencapai perairan Sinamar yang terletak di kepala Biaro.

Di sana terdapat batu besar dan masih dapat kita temui yang diberi nama batu jonggi. Di atas batu besar tersebut terdapat permata jika ditimbang beratnya sama dengan batu besar yang ada dibawah nya,namun sayang kata beliau pula jonggi atau permata yang ada di kepala biaro tersebut diambil oleh belanda sehingga sekarang hanya tinggal batu besarnya saja.

Keingin tahuan dari seorang anak bisa membuatnya penasaran. Sehingga pada suatu hari kakek saya mengajak saya ikut serta berkaul di kepala biaro dimana makam anak raja berada. dan kakek menunjukan batu besar tersebut, dan juga air berombak yang katanya akibat paga ruyuang tersebut.

Kata beliau. Dahulu sebelum kerajaan paga ruyuang pindah ke batu sangkar, mereka mendirikan pemukiman kecil di kepala biaro tersebut, namun pada suatu hari anak raja sedang mandi di batang air sinamar tersebut dan dimakan oleh buaya. maka raja murka dan membuat perjanjian atau dikampung saya dikenal dengan sotiah ( sumpah sakti barangkari ) dengan membuat empang atau pagar dari ruyung enau, sehingga jika anak cucu buaya lewat maka akan mati.

Sehingga tiap air sinamar meluap maka kata kakek saya ada buaya yang akan lewat, melintasi jalan gantiang dan akan menghilir melalui bandar talao menuju anak sungai batang kumanis menuju sinamar lagi guna mengelakan batu jonggi yang berpagar ruyuang tersebut, maka setelah kejadian tersebut pindahlah raja beserta masyarakat nya menuju tanah datar dan membuat kerajaan disana dan berkembang sampai saat ini.

Meskipun ini hanya cerita dari kakek, tapi saya pernah lihat memang air sinamar hampir mencapai jembatan besar antara kumanis dan tanjung bonai aur.sehingga kakek saya wanti - wanti agar berhati hati, dan peninggalan kuburan anak raja di kepala biaro tersebut memang ada, dan tiap tahun dijadikan tempat berkaul oleh masyarakat untuk awal memulai kesawah bersama. dan konon katanya lagi jika telah berkaul di sana musim hujan akan datang. sehingga masyarakat akan sama - sama turun kesawah."

#GP | RED