Menampar Siswa Perokok: Antara Disiplin dan Kekerasan - Go Parlement | Portal Berita

Menampar Siswa Perokok: Antara Disiplin dan Kekerasan

Rabu, Oktober 15, 2025

 



Oleh:

Adhan Chaniago

Ketua Umum FORGUPENA (Forum Guru dan Penulis Cendekia)


Sijunjung (SUMBAR).GP-  Kasus penonaktifan Dini Fitria, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, yang menampar siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah telah memicu perdebatan publik yang ramai. Kebijakan Gubernur untuk menonaktifkan Ibu Dini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, terutama dari komunitas pendidik dan organisasi profesi guru yang merasa keputusan tersebut kurang mempertimbangkan konteks edukatif dan urgensi penegakan disiplin.


 


Sebagai Ketua Umum Forgupena (Forum Guru dan Penulis Cendekia), sebuah organisasi yang menaungi para guru dan pendidik Indonesia, saya merasa perlu menyuarakan perspektif yang lebih komprehensif terhadap kasus ini. Forgupena, sebagaimana organisasi profesi guru lainnya seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), memiliki kepedulian mendalam terhadap perlindungan hak dan martabat guru dalam menjalankan tugas profesionalnya.


 


Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah dengan tegas menyatakan bahwa "Setiap sekolah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di lingkungannya" (Pasal 2 ayat 1). Lebih lanjut, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa "Kepala sekolah bertanggung jawab atas pelaksanaan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah." Artinya, Ibu Dini Fitria memiliki tanggung jawab hukum dan moral untuk memastikan lingkungan sekolahnya bebas dari rokok. Ketika seorang siswa melanggar aturan dengan merokok di sekolah, kepala sekolah berada dalam posisi yang menuntut tindakan tegas untuk menegakkan peraturan yang telah ditetapkan.


 


Tidak ada yang bisa membenarkan kekerasan dalam bentuk apapun di lingkungan pendidikan. Namun, perlu dipahami bahwa tindakan Ibu Dini Fitria bukanlah manifestasi dari kekejaman atau sadisme, melainkan ekspresi keputusasaan seorang pendidik yang melihat anak didiknya merusak masa depannya sendiri. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan dalam Pasal 115 ayat (1) bahwa "Kawasan tanpa rokok antara lain di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan." Merokok bagi pelajar bukan sekadar pelanggaran tata tertib sekolah, tetapi juga pelanggaran terhadap undang-undang kesehatan yang merupakan ancaman nyata terhadap kesehatan generasi muda.


 


Organisasi profesi guru seperti Forgupena memandang bahwa guru dan kepala sekolah berada dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, mereka dituntut untuk menegakkan disiplin dan melindungi siswa dari bahaya rokok sesuai amanat undang-undang. Di sisi lain, mereka harus berhadapan dengan ancaman sanksi administratif ketika metode pendisiplinan yang digunakan dianggap melampaui batas. Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang membuat guru ragu-ragu dalam menjalankan tugas pengawasan dan pembinaan.


 


Kasus ini sebenarnya menyingkap persoalan yang lebih fundamental tentang krisis pendidikan karakter yang dimulai dari rumah. Ada pepatah Arab yang bijak menyebutkan "Al-bayt madrasatul ula" yang berarti rumah adalah sekolah pertama. Keluarga adalah madrasah pertama di mana nilai-nilai dasar kehidupan ditanamkan. Pendidikan masa lalu menunjukkan betapa kuatnya peran orang tua dalam membentuk karakter anak. Guru dan orang tua memiliki komunikasi yang intens, saling mendukung dalam proses pendidikan. Ketika seorang anak melakukan kesalahan di sekolah, orang tua datang dengan sikap kooperatif, bukan konfrontatif.



Paradigma tersebut kini telah bergeser. Ketika guru menegur atau memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar aturan, terutama aturan yang melanggar undang-undang seperti merokok, sebagian orang tua justru membela habis-habisan anaknya tanpa terlebih dahulu menyelidiki faktanya. Mereka lebih sibuk mempersoalkan hak asasi anak yang ditampar daripada mempertanyakan mengapa anak mereka merokok di usia sekolah. Fenomena ini menunjukkan melemahnya tanggung jawab orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga, dan pada akhirnya beban tersebut sepenuhnya diletakkan di pundak guru tanpa dukungan yang memadai.


 


Forgupena, bersama organisasi profesi guru lainnya, telah berulang kali menyuarakan pentingnya perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugasnya. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Pasal 39 ayat (1) menyebutkan bahwa "Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas." Namun dalam praktiknya, perlindungan tersebut masih jauh dari memadai. Guru seringkali menjadi pihak yang paling rentan ketika terjadi konflik antara penegakan disiplin dan klaim pelanggaran hak anak.


 


Keputusan Gubernur untuk menonaktifkan Ibu Dini Fitria merupakan kebijakan yang kurang tepat dan cenderung kontraproduktif terhadap upaya penegakan disiplin di sekolah. Kebijakan ini mengabaikan konteks edukatif dari tindakan sang kepala sekolah. Tidak ada indikasi bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan niat jahat atau untuk menyakiti siswa secara sadis. Sebaliknya, ini adalah tindakan impulsif dari seorang pendidik yang frustrasi melihat siswa melanggar aturan berat di lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya.


 


Kebijakan ini juga mengirimkan pesan yang salah kepada siswa, orang tua, dan seluruh komunitas pendidikan, bahwa pelanggaran serius seperti merokok di sekolah bisa dimaklumi, sementara guru yang berusaha menegakkan disiplin justru dihukum. Hal ini menciptakan preseden berbahaya yang akan melemahkan wibawa pendidik di masa mendatang dan membuat guru-guru lain takut untuk menegakkan aturan. Keputusan ini tidak menyelesaikan akar masalah. Alih-alih fokus pada bagaimana mencegah siswa merokok dan meningkatkan peran orang tua dalam pendidikan karakter, kebijakan ini justru mengalihkan perhatian publik pada dramatisasi kasus pelanggaran prosedur pendisiplinan.


 


Sebagai organisasi profesi, Forgupena memandang bahwa yang seharusnya dilakukan adalah memberikan pembinaan dan pelatihan kepada Ibu Dini Fitria dan guru-guru lainnya tentang manajemen emosi dan teknik pendisiplinan yang efektif tanpa kekerasan, sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Organisasi profesi guru memiliki peran strategis dalam memberikan pelatihan dan pendampingan semacam ini kepada anggotanya. PGRI, IGI, FGII, FSGI, dan Forgupena harus bersinergi dengan Dinas Pendidikan untuk menyelenggarakan program capacity building bagi guru dan kepala sekolah dalam hal manajemen disiplin positif.


 


Penguatan peran orang tua melalui program parenting yang intensif juga sangat diperlukan. Orang tua harus dibangunkan kesadarannya bahwa pendidikan karakter anak adalah tanggung jawab utama mereka, bukan sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Organisasi profesi guru dapat berkolaborasi dengan komite sekolah dan lembaga parenting untuk menginisiasi program-program yang mengembalikan peran keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak.


Berdasarkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 Pasal 5, "Pelanggaran terhadap ketentuan kawasan tanpa rokok dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan." Sanksi edukatif yang tegas perlu diterapkan konsisten kepada siswa yang merokok, bukan kepada guru yang menegakkan aturan. Gubernur seharusnya memfasilitasi dialog antara kepala sekolah, siswa, orang tua, komite sekolah, dan organisasi profesi guru untuk mencari solusi restoratif yang berpihak pada kepentingan pendidikan, bukan langsung menjatuhkan sanksi administratif yang justru kontraproduktif.


Forgupena mengusulkan agar kasus Ibu Dini Fitria ditinjau ulang dengan melibatkan organisasi profesi guru sebagai pihak yang memahami dinamika dan tantangan profesi keguruan. Solusi yang dicari harus yang memberikan efek jera kepada siswa pelanggar, memberikan pembelajaran kepada pendidik tentang metode disiplin yang tepat, dan yang terpenting mengembalikan wibawa guru dalam menjalankan tugas profesionalnya.


 


Kasus SMAN 1 Cimarga adalah cermin retak dari sistem pendidikan yang kehilangan keseimbangan antara perlindungan hak anak dan penegakan disiplin. Fokus perhatian terlalu besar pada cara penegakan disiplin hingga melupakan substansi masalah, yaitu seorang pelajar yang merokok di sekolah merupakan pelanggaran serius yang mengancam kesehatannya dan melanggar undang-undang. Bukan kekerasan yang dibenarkan, tetapi kepedulian dan keputusasaan seorang pendidik seperti Ibu Dini Fitria yang perlu dipahami.


 


Alih-alih menghukum guru, yang lebih penting adalah membangun kembali sinergi antara rumah dan sekolah dalam mendidik generasi yang berkarakter. Organisasi profesi guru memiliki peran vital sebagai jembatan antara kepentingan guru, kebijakan pemerintah, dan harapan masyarakat. Forgupena bersama organisasi profesi guru lainnya siap menjadi mitra pemerintah dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang melindungi hak guru sekaligus menjamin pendidikan karakter yang berkualitas bagi siswa. Guru hanyalah perpanjangan tangan dari pendidikan yang sejatinya dimulai dari rumah, dari madrasah pertama yang bernama keluarga, dan mereka berhak mendapat dukungan penuh dalam mengemban amanah mulia tersebut.

Sumber:  https://forgupena.or.id

#GP | Sijunjung | 15 Oktober 2025


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JMSI

Pages

SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS