Ketika Kepala Daerah Salah Memahami Esensi Pendidikan: Refleksi Kasus Dini Fitria - Go Parlement | Portal Berita

Ketika Kepala Daerah Salah Memahami Esensi Pendidikan: Refleksi Kasus Dini Fitria

Rabu, Oktober 15, 2025

 




Oleh: Adhan Chaniago

Ketua Umum Forgupena (Forum Guru dan Penulis Cendekia)


 

Sijunjung (SUMBAR).GP-  Provinsi Banten tengah dihadapkan pada kasus yang seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi semua pihak, namun justru berujung pada keputusan yang mengecewakan dari Gubernur Andra Soni. Penonaktifan Dini Fitria, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, atas insiden menampar siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah, bukanlah solusi yang bijaksana. Keputusan ini bahkan semakin memperkeruh persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita yang sebenarnya jauh lebih kompleks daripada sekadar insiden tamparan tersebut. Sebagai Ketua Umum Forgupena (Forum Guru dan Penulis Cendekia), organisasi yang menaungi guru dan penulis Indonesia, saya melihat kasus ini bukan sebagai kasus individual yang bisa diselesaikan dengan sanksi administratif sederhana, melainkan cerminan kompleksitas permasalahan pendidikan nasional yang membutuhkan kebijaksanaan pemimpin daerah, bukan keputusan reaktif yang justru kontraproduktif. Forgupena merasa terpanggil untuk menyuarakan perspektif yang lebih holistik dan konstruktif terhadap permasalahan ini.


 


Mari kita pahami terlebih dahulu konteks hukum dari kasus ini yang seringkali diabaikan dalam pemberitaan publik. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 115 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa "Kawasan tanpa rokok antara lain di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan." Ini bukan aturan internal sekolah yang bisa ditawar-tawar, tetapi undang-undang negara yang mengikat semua pihak tanpa terkecuali. Lebih spesifik lagi, Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah menegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa "Setiap sekolah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di lingkungannya." Yang sangat penting untuk dipahami adalah Pasal 3 yang menyebutkan "Kepala sekolah bertanggung jawab atas pelaksanaan kawasan tanpa rokok di lingkungan sekolah." Jadi, ketika siswa merokok di sekolah, Ibu Dini Fitria bukan hanya berhadapan dengan pelanggaran tata tertib biasa, tetapi pelanggaran undang-undang kesehatan yang terjadi di bawah tanggung jawab langsung beliau sebagai kepala sekolah. Posisi kepala sekolah dalam hal ini sangat berat karena bertanggung jawab penuh atas penegakan aturan yang dilanggar oleh siswa, dan pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah Gubernur Andra Soni benar-benar memahami beban tanggung jawab ini ketika mengambil keputusan menonaktifkan Ibu Dini.


 


Namun fakta yang paling mengejutkan dan seharusnya menjadi perhatian utama Gubernur Andra Soni bukanlah tamparan yang dilakukan Ibu Dini Fitria, melainkan fenomena 630 siswa SMAN 1 Cimarga yang secara kolektif mendukung teman mereka yang merokok. Ini bukan lagi tentang solidaritas pertemanan yang sehat, tetapi tentang orientasi moral yang terbalik dan sangat mengkhawatirkan bagi masa depan generasi muda kita. Bayangkan betapa ironisnya situasi ini: 630 anak muda yang seharusnya menjadi generasi penerus bangsa justru memilih membela pelanggaran hukum, mereka tidak mempertanyakan mengapa temannya merokok, tidak memikirkan dampak kesehatan rokok bagi masa depan temannya tersebut, tidak menghormati aturan sekolah dan undang-undang negara yang jelas-jelas melarang merokok di lingkungan sekolah. Yang mereka lakukan justru mengutuk guru yang berusaha menegakkan disiplin dan melindungi mereka dari bahaya rokok. Ini adalah potret buram dari kegagalan pendidikan karakter yang harus menjadi alarm darurat bagi pemerintah daerah, khususnya Gubernur Andra Soni sebagai pemegang kewenangan tertinggi pendidikan di Provinsi Banten.


 


Namun apa yang dilakukan Gubernur Andra Soni dalam merespons situasi kompleks ini? Beliau memilih fokus pada metode pendisiplinan yang kurang tepat, sambil mengabaikan fakta yang jauh lebih mengkhawatirkan tentang degradasi moral ratusan siswa tersebut. Ini adalah kesalahan prioritas yang sangat mendasar dan menunjukkan ketidakpahaman beliau terhadap esensi permasalahan pendidikan yang sesungguhnya. Sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab atas pendidikan di wilayahnya, seharusnya beliau bertanya dengan serius: mengapa ratusan siswa di sekolah unggulan seperti SMAN 1 Cimarga bisa memiliki orientasi moral yang demikian terbalik? Apa yang salah dengan sistem pendidikan karakter di Banten selama ini? Bagaimana orang tua mendidik anak-anak mereka di rumah sehingga menghasilkan generasi yang membela pelanggaran hukum? Pertanyaan-pertanyaan fundamental ini sama sekali tidak disentuh dalam kebijakan Gubernur Andra Soni yang justru lebih memilih jalan pintas dengan menghukum seorang pendidik yang berusaha menegakkan aturan.


 


Organisasi profesi guru seperti Forgupena telah lama mengamati pergeseran paradigma dalam pola pengasuhan dan pendidikan anak yang sangat mengkhawatirkan. "Al-bayt madrasatul ula" yang berarti rumah adalah sekolah pertama, merupakan prinsip fundamental dalam pendidikan yang kini semakin dilupakan oleh banyak keluarga modern yang lebih sibuk dengan urusan duniawi mereka sendiri. Dalam sistem pendidikan tradisional yang terbukti efektif membentuk karakter kuat selama berabad-abad, rumah berfungsi sebagai tempat pertama dan utama penanaman nilai-nilai moral, di mana orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan anak tentang baik-buruk, benar-salah, halal-haram, pantas-tidak pantas dengan penuh kesabaran dan keteladanan. Ketika anak kemudian masuk sekolah, guru melanjutkan dan memperkuat fondasi yang telah dibangun di rumah sehingga ada kesinambungan, ada sinergi, ada kerjasama yang harmonis antara rumah dan sekolah yang menghasilkan generasi berkarakter kuat. Namun kini, paradigma itu telah bergeser secara dramatis di mana banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan karakter kepada sekolah, seolah guru memiliki tongkat sihir yang bisa mengubah anak menjadi pribadi berkarakter hanya dalam beberapa jam pelajaran per hari. Padahal anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah daripada di sekolah, dan jika di rumah tidak ada pendidikan karakter, jika orang tua tidak menjadi teladan yang baik, jika keluarga tidak menanamkan nilai-nilai moral dengan konsisten, bagaimana mungkin sekolah bisa berhasil sendirian menghadapi tantangan pembentukan karakter yang begitu berat.


 


Yang lebih ironis dan menyakitkan bagi para guru adalah ketika mereka berusaha menegakkan disiplin, bahkan untuk pelanggaran yang melanggar undang-undang seperti merokok, sebagian orang tua justru menjadi pihak pertama yang memprotes dengan keras tanpa terlebih dahulu menyelidiki duduk persoalan yang sebenarnya. Mereka lebih cepat membela anak yang bersalah daripada introspeksi diri mengapa anak mereka bisa melakukan pelanggaran serius seperti merokok di lingkungan sekolah. Mereka lebih vokal memperjuangkan "hak asasi" anak yang ditegur daripada mempertanyakan kegagalan mereka sendiri dalam mendidik karakter anak di rumah sejak dini. Dalam kasus SMAN 1 Cimarga, patut dipertanyakan dengan serius: di mana peran 630 keluarga yang anaknya mendukung siswa perokok tersebut? Apakah mereka pernah bertanya kepada anak mereka mengapa membela pelanggaran yang jelas-jelas salah? Apakah mereka pernah mengajarkan kepada anak mereka tentang pentingnya integritas moral, tentang berani mengatakan tidak pada yang salah meskipun itu dilakukan oleh teman dekat sekalipun? Atau mereka juga ikut-ikutan menyalahkan sekolah dan guru tanpa mau mengakui kegagalan mereka sebagai orang tua dalam mendidik anak di rumah? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur oleh semua pihak jika kita benar-benar ingin menyelesaikan akar permasalahan pendidikan karakter di negeri ini.


 


Keputusan Gubernur Banten, Andra Soni, untuk menonaktifkan Ibu Dini Fitria adalah contoh nyata dari kebijakan pendidikan yang diambil tanpa pemahaman mendalam tentang kompleksitas permasalahan pendidikan dan tanpa melibatkan organisasi profesi guru yang seharusnya menjadi mitra dalam pengambilan keputusan. Ini adalah keputusan yang populis, reaktif, dan hanya melihat permukaan masalah tanpa menggali akar persoalannya yang jauh lebih dalam dan sistemik. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Pasal 39 ayat (1) dengan jelas menyatakan bahwa "Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas." Sebagai kepala pemerintah daerah, Gubernur Andra Soni seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan perlindungan kepada guru yang sedang menjalankan tugasnya menegakkan aturan yang diamanatkan oleh undang-undang, namun yang terjadi justru sebaliknya karena beliau menjadi pihak yang menjatuhkan sanksi kepada guru tersebut tanpa terlebih dahulu memahami konteks dan tekanan yang dihadapi oleh seorang kepala sekolah dalam menjalankan tanggung jawabnya.


 


Kebijakan Gubernur Andra Soni ini menunjukkan bahwa beliau tidak memahami posisi dilematis yang dihadapi oleh para pendidik dalam menjalankan tugas mereka sehari-hari. Di satu sisi, Permendikbud No. 64 Tahun 2015 mewajibkan kepala sekolah bertanggung jawab atas pelaksanaan kawasan tanpa rokok dan akan dimintai pertanggungjawaban jika ada pelanggaran yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Di sisi lain, ketika kepala sekolah mengambil tindakan untuk menegakkan aturan tersebut dengan cara yang mungkin kurang tepat karena frustrasi melihat pelanggaran berulang, beliau justru dikenai sanksi administratif yang berat berupa penonaktifan. Ini adalah kontradiksi kebijakan yang sangat merugikan profesi guru dan menciptakan ketidakpastian hukum yang membuat guru-guru lain menjadi takut untuk menegakkan disiplin di sekolah mereka. Lebih jauh lagi, keputusan Gubernur Andra Soni mengirimkan sinyal yang sangat berbahaya kepada seluruh ekosistem pendidikan di Banten dan bahkan di seluruh Indonesia jika kasus ini dijadikan preseden. Kepada siswa, pesan yang tersampaikan adalah kalian bisa melanggar aturan, bahkan undang-undang negara, dan jika guru menegur kalian dengan keras karena frustrasi, guru itulah yang akan dihukum sementara kalian bisa terus melanggar tanpa konsekuensi yang berarti. Kepada orang tua, pesan yang tersampaikan adalah tidak perlu repot-repot mendidik anak dengan disiplin di rumah, nanti sekolah yang akan melakukannya, dan jika sekolah terlalu keras dalam mendisiplinkan anak kalian, kalian bisa protes dan guru akan dihukum oleh pemerintah daerah. Kepada guru, pesan yang tersampaikan adalah jangan berani-berani menegakkan disiplin dengan tegas, lebih baik bersikap permisif dan membiarkan pelanggaran terjadi, karena jika kalian terlalu tegas kalian yang akan menanggung risikonya dengan kehilangan pekerjaan atau posisi kalian.


 


Apakah Gubernur Andra Soni menyadari implikasi jangka panjang dari kebijakannya yang populis ini terhadap masa depan pendidikan di Banten? Guru-guru di seluruh Banten kini akan berpikir dua kali, bahkan berkali-kali, sebelum menegur siswa yang melanggar aturan karena takut nasib mereka akan sama dengan Ibu Dini Fitria. Mereka akan memilih bersikap permisif, membiarkan pelanggaran terjadi di depan mata mereka, menutup mata terhadap degradasi moral siswa, daripada mengambil risiko dihukum secara administratif dan kehilangan mata pencaharian mereka. Akibatnya, disiplin sekolah akan runtuh secara sistematis, pendidikan karakter akan semakin lemah dan tidak berfungsi, dan generasi muda Banten akan tumbuh menjadi generasi tanpa pegangan moral yang kuat, tanpa kemampuan membedakan baik dan buruk, tanpa rasa hormat terhadap aturan dan hukum. Sebagai kepala daerah yang memiliki visi jangka panjang, Gubernur Andra Soni seharusnya memiliki kewajiban untuk melihat gambaran besar dari permasalahan ini dan bertanya dengan sungguh-sungguh: mengapa dalam satu sekolah saja ada 630 siswa yang orientasi moralnya terbalik hingga membela pelanggaran hukum? Ini bukan masalah satu kepala sekolah atau satu insiden individual yang bisa diselesaikan dengan sanksi administratif, tetapi ini adalah indikasi masalah sistemik yang memerlukan intervensi kebijakan yang komprehensif, terukur, dan melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan. Beliau seharusnya segera menginisiasi audit menyeluruh terhadap pendidikan karakter di seluruh sekolah di Banten, melibatkan organisasi profesi guru, komite sekolah, tokoh masyarakat, tokoh agama, ahli pendidikan, dan psikolog untuk bersama-sama mencari solusi jangka panjang yang benar-benar menyelesaikan akar masalah.


 


Namun yang dilakukan Gubernur Andra Soni adalah mengambil jalan pintas yang sangat tidak bijaksana: menghukum guru untuk memuaskan tuntutan publik yang emosional dan tidak memahami kompleksitas permasalahan, lalu mengabaikan substansi masalah yang sebenarnya jauh lebih serius yaitu degradasi moral ratusan siswa yang membela pelanggaran hukum. Ini adalah tanda pemimpin yang tidak memahami esensi pendidikan, yang lebih mementingkan popularitas sesaat dan citra politik jangka pendek daripada kebijakan jangka panjang yang substansial dan benar-benar menyelesaikan masalah pendidikan di daerahnya. Forgupena, bersama organisasi profesi guru lainnya, dengan tegas menolak kebijakan Gubernur Andra Soni yang kontraproduktif ini dan menuntut peninjauan ulang yang melibatkan pemangku kepentingan pendidikan secara komprehensif. Kami memahami sepenuhnya bahwa tindakan menampar bukanlah metode pendisiplinan yang ideal dan tidak sesuai dengan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, namun kami juga memahami konteks frustrasi dan keputusasaan seorang pendidik yang melihat anak didiknya merusak masa depannya sendiri dengan merokok dan melihat ratusan siswa lain membela pelanggaran tersebut. Sanksi yang tepat seharusnya adalah pembinaan intensif, pelatihan manajemen emosi dan teknik pendisiplinan positif, serta pendampingan psikologis, bukan penonaktifan yang justru menghukum niat baik seorang pendidik dan mengirimkan pesan yang salah kepada seluruh komunitas pendidikan.


 


Yang seharusnya dilakukan oleh Gubernur Andra Soni adalah merancang dan mengimplementasikan program komprehensif yang mencakup beberapa aspek penting dalam menyelesaikan akar permasalahan ini antara lain :


Pertama, Ibu Dini Fitria dan seluruh guru serta kepala sekolah di Banten perlu mendapatkan pelatihan intensif tentang manajemen disiplin positif, teknik komunikasi efektif dengan siswa generasi digital, pengendalian emosi dalam situasi konflik yang menekan, dan metode pendisiplinan yang humanis namun tetap tegas dalam menegakkan aturan. Organisasi profesi guru seperti Forgupena, PGRI, IGI, dan FGSI memiliki sumber daya manusia yang kompeten dan siap berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Banten untuk menyelenggarakan program capacity building yang terstruktur dan berkelanjutan ini. 


Kedua, Gubernur Andra Soni harus segera mendeklarasikan program darurat penguatan pendidikan karakter di seluruh sekolah di Banten dengan alokasi anggaran yang memadai dan implementasi yang terukur. Program ini harus dirancang secara serius dengan melibatkan ahli pendidikan karakter, psikolog pendidikan, tokoh agama yang kredibel, dan praktisi pendidikan yang berpengalaman di lapangan. Fakta 630 siswa yang membela pelanggaran hukum harus menjadi titik tolak untuk evaluasi menyeluruh dan radikal terhadap sistem pendidikan karakter yang selama ini berjalan di Banten, karena jelas sistem yang ada sekarang telah gagal total dalam membentuk karakter generasi muda.


 

Ketiga, pemerintah provinsi harus mengalokasikan anggaran khusus yang signifikan untuk program parenting masif, terstruktur, dan berkelanjutan di seluruh sekolah di Banten. Berdasarkan Permendikbud No. 64 Tahun 2015 Pasal 5 yang menyebutkan "Pelanggaran terhadap ketentuan kawasan tanpa rokok dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan," maka orang tua harus diedukasi secara intensif tentang tanggung jawab hukum dan moral mereka dalam mencegah anak merokok, bukan hanya menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada sekolah lalu menyalahkan sekolah ketika terjadi masalah. Program parenting ini harus menekankan kembali konsep fundamental "Al-bayt madrasatul ula" bahwa rumah adalah madrasah pertama, pentingnya keteladanan orang tua dalam membentuk karakter anak, komunikasi efektif antara orang tua dan anak, dan kerjasama harmonis antara rumah dan sekolah sebagai mitra dalam pendidikan, bukan sebagai pihak yang saling menyalahkan. Keempat, harus ada mekanisme perlindungan hukum yang jelas, tertulis, dan dapat dipertanggungjawabkan bagi guru yang menjalankan tugasnya menegakkan disiplin sesuai dengan aturan yang berlaku. Ketidakpastian hukum yang dialami Ibu Dini Fitria tidak boleh terulang kepada guru-guru lain di manapun di Indonesia karena akan menghancurkan semangat pengabdian para pendidik. Gubernur Andra Soni harus segera menerbitkan Peraturan Gubernur yang memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi guru dalam menjalankan tugas profesional mereka, sekaligus pedoman yang sangat jelas dan rinci tentang metode pendisiplinan yang boleh dan tidak boleh dilakukan beserta mekanisme penyelesaian jika terjadi pelanggaran. Kelima, sanksi tegas, konsisten, dan edukatif harus diterapkan kepada siswa yang melanggar aturan kawasan tanpa rokok dan kepada 630 siswa yang membela pelanggaran tersebut harus diberikan pembinaan khusus tentang integritas moral dan pentingnya menghormati hukum. Ini bukan tentang menghukum anak secara kejam, tetapi tentang memberikan efek jera dan pembelajaran penting bahwa setiap pelanggaran memiliki konsekuensi yang harus dihadapi dan bahwa membela yang salah adalah tindakan yang tidak terpuji. Sanksi ini harus edukatif, proporsional, dan melibatkan orang tua secara langsung dalam proses pembinaan sehingga ada sinergi antara rumah dan sekolah dalam membentuk karakter anak.


 


Kasus ini adalah panggilan keras untuk introspeksi mendalam bagi semua pihak yang terlibat dalam ekosistem pendidikan. Kepada Gubernur Andra Soni, Forgupena dan seluruh organisasi profesi guru menghimbau dengan sungguh-sungguh untuk segera meninjau ulang kebijakan penonaktifan Ibu Dini Fitria yang sangat tidak adil dan kontraproduktif ini. Jadilah pemimpin yang memahami esensi pendidikan dengan mendalam, yang berani mengambil kebijakan jangka panjang yang substansial meskipun tidak populer di mata publik yang emosional, yang memprioritaskan substansi penyelesaian masalah di atas penampilan dan citra politik semata. Masa depan generasi muda Banten yang akan menentukan masa depan bangsa ini ada di tangan kebijakan yang Anda ambil hari ini, dan sejarah akan mencatat apakah Anda adalah pemimpin yang bijaksana atau pemimpin yang hanya mengejar popularitas sesaat. Kepada para orang tua di seluruh Indonesia, khususnya di Banten, kembalilah dengan sepenuh hati ke peran Anda sebagai pendidik utama dan pertama bagi anak-anak Anda. Rumah adalah madrasah pertama sebagaimana diajarkan oleh pepatah bijak "Al-bayt madrasatul ula", dan Anda adalah guru pertama dan paling berpengaruh bagi anak-anak Anda dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Jangan serahkan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan karakter kepada sekolah dengan asumsi bahwa guru bisa melakukan segalanya, kemudian dengan mudahnya memprotes dan menyalahkan sekolah ketika sekolah menegakkan disiplin terhadap anak Anda yang melanggar aturan. Bekerjasama secara harmonis dengan guru sebagai mitra dalam mendidik anak, bukan melawan mereka atau memandang mereka sebagai musuh yang harus dilawan setiap saat.


 


Kepada 630 siswa SMAN 1 Cimarga yang membela pelanggaran hukum dengan orientasi moral yang terbalik, sadarilah dengan sepenuh hati bahwa solidaritas sejati bukan tentang membela teman yang berbuat salah dan melanggar hukum, tetapi tentang membantu teman untuk kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kebiasaan buruk yang akan merusak masa depannya. Belajarlah untuk berani mengatakan tidak pada yang salah dengan tegas, meskipun itu dilakukan oleh teman dekat sekalipun, karena itulah wujud persahabatan yang sesungguhnya. Integritaslah yang akan membawa Anda menjadi generasi yang berkualitas dan dihormati, bukan solidaritas buta yang membela kesalahan. Kepada seluruh guru di Indonesia yang sedang berjuang keras di garis depan pendidikan dengan segala keterbatasan dan tekanan yang luar biasa, jangan patah semangat menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini. Tugas mendidik memang tidak mudah, penuh tantangan yang berat, bahkan kadang tidak dihargai oleh masyarakat dan kebijakan pemerintah yang tidak memihak, namun ingatlah selalu bahwa Anda adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sedang membentuk masa depan bangsa dengan tangan Anda sendiri. Forgupena dan organisasi profesi guru lainnya seperti PGRI, IGI, dan lainnya akan terus memperjuangkan hak dan perlindungan Anda di semua forum dan tingkatan, karena kami memahami betul perjuangan dan pengorbanan yang Anda lakukan setiap hari demi masa depan anak-anak bangsa. Kasus SMAN 1 Cimarga bukan akhir dari perjuangan kita, tetapi awal dari kesadaran kolektif yang harus dibangun bersama bahwa pendidikan karakter adalah tanggung jawab semua pihak tanpa terkecuali: rumah sebagai madrasah pertama, sekolah sebagai lembaga formal pendidikan, masyarakat sebagai lingkungan sosial, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang harus bijaksana dan visioner, sehingga dengan sinergi yang kuat dari semua pihak ini kita bisa menyelamatkan generasi muda kita dari degradasi moral yang sangat mengkhawatirkan ini dan membentuk mereka menjadi generasi yang berkarakter kuat, berintegritas tinggi, dan siap memimpin bangsa ini di masa depan.


Sumber:  https://forgupena.or.id


#GP | Sijunjung | 15 Oktober 2025


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JMSI

Pages

SELAMAT DATANG DI SEMOGA ANDA PUAS