Sijunjung(SUMBAR).GP - Waketum LKAAM Provinsi Sumatera Barat H Epi Radisman Dt Paduko Alam SH paparkan dengan jelas bahwa Harta Pusaka Tinggi dan Harta Pusaka Rendah menurut Adat Minangkabau "Dijua Indak di Makan Bali, Digadai Indak dimakan Sando"
Uraian tersebut disampaikan oleh Sang Datuak dihadapan 88 orang "Bundo-bundo Sako" se-Kecamatan Koto VII, Kamis (30/10-2025 di Sanggar Pendidikan Jorong Koto Nagari Guguak, Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung - Sumatera Barat.
Bundo-bundo Sako atau juga disebut "Mandeh Sako" yang hadir saat itu adalah meliputi kawasan "Koto Tujuah ba Sambilan Koto dan sapuluh Jo Sisawah". Yakni Nagari Limo Koto, Nagari Tanjuang, Nagari Palaluar, Nagari Guguak, Nagari Padang Laweh dan Sibolin (Sisawah).
"Harato Pusako Tinggi dan Harato Pusako Randah" dalam filosofi Adat Minangkabau itu adalah;
Mulai tanah nan sabingka,
Aie nan satitik,
Umpuik nan sahalai,
Capo nan sabatang,
Kabawahnyo takasiak bulan,
Ka atehnyo ta ambun jantan,
Angku Datuak nan punyo pangkaik,
Bundo Kanduang nan punyo haroto.
Dijua Indak dimakan Bali,
Digadai Indak dimakan Sando,
Kecuali Ampek Parkaro :
1. Maik tabujua ditangah rumah
2. Gadih gadang Indak balaki
3. Rumah Gadang ka tirisan
4. Mambangkik Batang Tarandam.
tutur Datuak Paduko Alam dalam dialek bahasa Minangkabau.
Makna ungkapan adat Minangkabau yang mengatakan “tak dimakan bali, tak dimakan sando” adalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah tidak boleh diperjual-belikan dan atau digadaikan, karena tidak bisa berpindah tangan secara individu.
Ungkapan ini adalah merupakan prinsip yang mendasar dalam hukum adat Minangkabau, yang mengatur pengelolaan harta komunal (milik kaum, milik suku ataupun milik Nagari / milik Kesatuan Masyarakat Hukum Adat).
Penjelasan ungkapan: Dijua indak dimakan bali: Secara harfiah artinya "dijual tidak dimakan beli". Maksudnya, hasil dari penjualan tanah pusaka tidak akan dapat menggantikan nilai tanah itu sendiri yang diwarisi secara turun-temurun.
Digadai indak dimakan sando: artinya "digadai tidak dimakan sando". Maksudnya, tanah yang digadaikan tidak dapat diambil oleh orang yang menggadaikannya (pemberi pinjaman).
Haram disertifikatkan atau alihkan secara individu, dalam artian harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (ganggam bauntuak) haram disertifikatkan mengacu pada larangan yang mendalam dalam adat Minangkabau untuk mengalihfungsikan harta kaum menjadi hak milik pribadi.
Harta kaum: Harta pusaka tinggi dan atau harta pusaka rendah adalah milik komunal yang diwariskan secara matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) dan dikelola oleh mamak kepala waris/mamak tertua dan atau laki-laki tertua yang masih hidup dalam sebuah rumah gadang, untuk kepentingan seluruh anggota kaum.
Datuak Paduko Alam juga menjelaskan dengan rinci bahwa Sertifikasi individu : adalah Sertifikasi tanah atas nama individu akan mengubah status hukum tanah pusaka dari hak milik kaum menjadi hak milik perseorangan, yang pewarisan diatur dalam hukum keperdataan nasional.
Hal inilah yang bertentangan dengan prinsip adat yang bertujuan mempertahankan keutuhan harta pusaka.
Justru Ancaman terhadap adat: Praktik sertifikasi individu dianggap sebagai ancaman yang akan menggerus nilai-nilai adat Minangkabau, karena berpotensi membuat harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah mudah dialihkan kepada pihak lain melalui jual-beli ataupun dijadikan jaminan/borogh.
Aturan pengecualian untuk gadai
Meskipun tidak boleh dijual, harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah dapat digadaikan dalam keadaan sangat mendesak dengan empat syarat utama, yaitu:
* Maik tabujua di tangah rumah (terdapat mayat di tengah rumah)
* Rumah gadang katirisan (untuk perbaikan rumah adat)
* Gadih gadang indak balaki (untuk membiayai pernikahan gadis yang sudah dewasa)
* Mambangkik batang tarandam (untuk mengembalikan status atau harkat martabat kaum) ..
Syara' Mangato, Adaik Mamakai:
Dalam Islam, hukum tanah adalah bahwa segala sesuatu, termasuk tanah, pada hakikatnya adalah milik Allah semata.
Manusia hanya diberikan kuasa (amanah) untuk mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut sesuai hukum Allah.
Oleh karena itu, kepemilikan tanah dalam setiap nagari (KMHA ) di Minangkabau, harus tunduk pada hukum Islam dan tidak boleh ada pihak yang mengambilnya secara zalim atau dengan cara yang tidak sesuai syariat.
Konsep kepemilikan tanah dalam Islam
>Milik Allah:
Tanah, terkhusus tanah di Minangkabau adalah milik Allah, yang menempatkan manusia sebagai pemegang amanah untuk mengelola kekayaan-Nya.
>Manusia sebagai pengelola:
Manusia hanya memiliki hak untuk mengusahakan dan memanfaatkan tanah, bukan memiliki hak mutlak atasnya, dan pengelolaan tersebut harus sesuai dengan ketetapan Allah.
>Landasan hukum: Hukum yang berlaku untuk tanah di Minangkabau, haruslah hukum Allah yang bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadis, bukan hukum lain yang bertentangan.
>Konsekuensi pelanggaran:
Pengambilan tanah Minangkabau secara zalim atau merampas hak orang lain adalah perbuatan dosa besar dan dapat mendatangkan murka Allah.
Demikian ungkapan yang cukup jelas diuraikan Sang Datuak Paduko Alam yang juga mantan Ketua LKAAM Kab Sijunjung dua periode itu mengakhiri ceramahnya.
#GP | era.






Tidak ada komentar:
Posting Komentar