Makassar(SULSEL).GP- Sebuah insiden mengenaskan di Pinrang sempat memicu kemarahan publik setelah sebuah video yang menunjukkan seorang pria diseret secara brutal di jalanan oleh sejumlah oknum polisi viral di media sosial. Korban, yang diketahui bernama Andi Edi Shandy, adalah pemilik sah atas sebuah rumah tempat ia dipaksa keluar oleh gerombolan polisi dipimpin Komisaris Polisi Anita Taherong, pada 17 Mei 2024.
Videonya dapat dilihat di sini: VOC - Werc0k Betin4 alias Polw4n Ber4ksi di Pinrang, S4tu Pings4n (https://www.youtube.com/watch?v=x9p4M0CEl3Y)
Insiden tersebut terjadi ketika Anita Taherong dan kompoltannya tiba di rumah yang diklaimnya sudah dibelinya itu dan, tanpa mengikuti prosedur hukum yang benar, menggunakan kekerasan fisik dengan menyiksa korban secara beramai-ramai. Dalam video yang beredar luas di berbagai platform, Andi Edi Shandy terlihat ditarik dari rumahnya dan diseret di sepanjang jalan di depan tetangga dan orang yang lewat. Peristiwa tragis tersebut direkam oleh keponakannya yang menyaksikan langsung penyerangan dan kekerasan yang menimpa pamannya.
Apa yang terjadi selanjutnya membuat kita sangat miris dengan proses penegakan hukum. Penegak hukum di Polda Sulawesi Selatan bukannya menangani dugaan penyalahgunaan kekuasaan yang terekam dalam video, tapi justru memproses laporan Anita Taherong terhadap korban kebrutalan mereka dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akibat videonya viral.
Sebaliknya, laporan polisi yang disampaikan korban Andi Edi Shandy ke Polres Pinrang terkait penyerangan dan pembegalan terhadap dirinya oleh Anita Taherong Cs malahan dihentikan alias di-SP3 oleh polisi dengan alasan yang tidak jelas. Korban hari ini, Kamis, 11 Desember 2025 menerima Surat Penetapan Tersangka dari Polda Sulsel yang ditanda-tangani oleh Wakil Dikrimsus, AKBP Dodik Susianto, S.I.K.
Perkara hukum di lingkungan Polda Sulsel ini memperlihatkan dengan jelas adanya diskriminasi hukum yang sangat mencolok. Laporan korban tentang kekerasan dan/atau pembegalan diabaikan, sementara laporan polisi Anita Taherong tentang video viral berproses dengan lancar tanpa hambatan. Korban kini diperlakukan sebagai tersangka kriminal, sementara polisi Anita Taherong yang melakukan tindak kekerasan dan penyiksaan diberikan karpet merah melenggang keluar dari proses hukum.
Situasi ini telah memicu reaksi keras dari masyarakat sipil, jurnalis, dan pengamat hukum. Di antara kritikus paling vokal yang menyoroti kasus tersebut adalah Wilson Lalengke, seorang tokoh internasional Hak Asasi Manusia dan pendukung reformasi kepolisian. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga (Ketum PPWI) ini mempertanyakan integritas serta tugas pokok dan fungsi Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Ia mengungkapkan kekecewaan mendalam atas apa yang digambarkannya sebagai kedunguan hukum yang terang-terangan.
Ia mengajukan pertanyaan tajam: “Apa sebenarnya peran polisi? Apakah untuk membela sesama polisi, atau untuk melindungi dan mengayomi rakyat?”
Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu bahkan memberikan pernyataan yang amat keras dengan mempertanyakan isi batok kepala para oknum polisi di Sulawesi Selatan yang menangani kasusnya. Ia berpendapat bahwa penanganan kasus ini mencerminkan kerusakan sistemik di dalam institusi Polri secara umum.
“Pertanyaan utamanya adalah apa isi batok kepala para oknum polisi di Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan itu jika bukan tinj4 busuk?” ujarnya, menekankan bahwa gagal logika seperti itu mengikis kepercayaan publik dan merusak supremasi hukum.
Kasus ini bukanlah satu-satunya kekacauan logika hukum di institusi kepolisian: rakyat disalahkan demi membela sesama polisi. Selama beberapa tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap Kepolisian Republik Indonesia telah menurun drastis akibat skandal berulang yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan penegakan hukum yang diskriminatif. Publik berpendapat bahwa institusi tersebut telah menyimpang jauh dari misi dasarnya: untuk melindungi, melayani, mengayomi dan menegakkan keadilan bagi seluruh warga negara.
Undang-Undang ITE, yang oleh banyak pihak dipandang sebagai undang-undang sampah bagi demokrasi dan kebebasan bersuara, sering digunakan sebagai senjata melawan korban, pelapor, dan jurnalis. Dalam kasus ini, undang-undang tersebut digunakan bukan untuk mengatasi kejahatan siber, tetapi untuk mengkriminalisasi korban kekerasan polisi.
Menanggapi nasib naas yang dialami warga Pinrang ini, Wilson Lalengke menyampaikan seruan keras kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Ia mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas dalam mereformasi Kepolisian Republik Indonesia, dengan alasan bahwa perubahan bertahap saja tidak lagi cukup.
“Saya meminta dengan hormat kepada Presiden untuk serius mereformasi Kepolisian Republik Indonesia. Jika perlu, bubarkan dan gantikan dengan lembaga lain yang memiliki tugas serupa: melindungi, melayani, dan membela rakyat, serta menegakkan hukum dengan benar tanpa diskriminasi demi mewujudkan keadilan bagi rakyat,” tegas petisioner HAM pada Komite Keempat Perserikatan Bangsa-Bangsa, Oktober 2025, itu yang menandakan bahwa kepolisian, sebagaimana kondisinya saat ini, mungkin tidak lagi mampu menjalankan tupoksinya dengan baik dan benar.
#GP | APL | Red

.png)




Tidak ada komentar:
Posting Komentar